Jumat, 09 Oktober 2009

Apakah Filsafat Itu

Ketika mendengar istilah filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat "monster" yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Filsafat dari sini melahirkan mitos-mitos dalam seputarnya, seperti kita jangan terlalu serius dalam belajar filsafat. Bila orang tidak kuat, jangan jangan otak kita akan menjadi gila. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan Behar-hari dan kita melaluinya. Mitos tentang filsafat tersebut tersebar di orang awam. Tetapi, sebagaian agamawan pun, mengatakan agamawan dikarenakan orang agamawan dalam pemikirannya cenderung menerima kebenaran secara multak. Tetapi itu akan berlainan jika kita melihat dari pemikiran kaum filosof ia menerima kebenaran yang bersifat tidak mutlak, dikarenakan pola pemikirannya yang bersifat induktif. Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan, dikarenakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari esensinya.
Filsafat mencoba memberikan gambaran tentang pemikiran manusia secara keseluruhan, dan bahkan tentang realitas jika hal ini diyakini dapat dilakukan. Dalam perkembangan sejarah istilah filsafat, falsafah, atau filosofi ternyata dipakai dengan arti yang beraneka ragam, bagi orang Yunani Kuno filsafat secara harfiah berarti cinta kepada kebijaksanaan, namun dalam keadaan sekarang digunakan dalam banyak konteks. Memiliki falsafat dapat diartikan memiliki pandangan hidup, seperangkat pedoman hidup, ataupun nilai-nilai tertentu. Istilah filusuf semula bemakna pecinta kebijaksanaan dan berasal dari jawaban yang diberikan oleh Phytagoras ketika ia disebut bijak. Ia berkata bahwa kebijaksanaannya hanya berarti kesadaran bahwa ia bodoh, sehingga ia tidak dapat disebut bijak tetapi orang mencari kebijaksanaan. Disini kebijaksanaan tidak dibatasi dari bagian tertentu dari pemikiran. Permasalah yang berada dalam filsafat menyangkut pertanyaan, pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang logis antara ide-ide yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.

Pendekatan Filsafat
Bagi seorang pemula, memasuki dunia filsafat bebarti memasuki ranah dunia yang begitu mempesona sekaligus menantang dengan puluhan filosof dengan pemikirannya masing¬masing. Untuk menyelami maka diperlukan bagaiman cara mendekati filsafat dan bagaimana cara masuk untuk mempelajarinya.
Pertama adalah pendekatan secara historis dengan berbagai variasinya. Metode ini dipandang baik bagi para pemula, dalam pendekatan ini pemikiran para filusuf terpenting dan latar belakang mereka dipelajarai secara kronologis. Secara sederhana dalam sejarahnya filsafat terbagi menjadi tiga zaman nyaitu Yunani Kuno, pertengahan dan modem. Kedua adalah pendekatan metodologis cara ini memahami filsafat adalah kita berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai macam metode filsafat ditimbang-timbang dan metode tersebut dipandang terbaik untuk melakukan filsafat. Ketiga adalah pendekatan analisis dalam pendekatan ini dalam mempelajari filsafat kita menjelaskan unsusr-unsur dari filsafat dan dalam pendekatan ini unsur filsafat dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Keempat adalah pendekatan eksistensial dalam pendekatan ini memperkenalkan jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Pendekatan ini tema-tema pokok filsafat dialami dengan harapan memperoleh gambaran filasafat secara keseluruhan.
Lahan Garap Filsafat
Filsafat beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi menjadi tiga macam yang menjadi lahan kerja filsafat, nyaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga pertanyaan dimana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Pertanyaan mengapa ini merupakan kelanjutan dari mengetahui dasar dan pertanyaan mengapa merupakan kajian bagaimana cara mengetahuinya tersebut. Sedangkan untuk aksiologi, merupakan kelanjutan dari dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dan setelah mengetahui dan Cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya. Kalau menurut Imanuel Kant bahwa sistematika dalam filsafat mencangkup dengan tiga pertanyaan apa yang dapat saya ketahui, apa yang dapat saya harapkan, apa yang dapat saya lakukan. Pertanyaan tersebut mewakili dan wilayah pengetahuan ada, dan nilai.
Gambaran umum tentang ketiga lahan filsafat adalah sebagai berikut :

A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan,

atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khan sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi

dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dan predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana' (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Sementara Jujun S. Suriasumanfri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas¬batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenamya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan "bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan"?
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman¬pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam din barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi raja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadaia barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah luau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dan pengetahuan intuitif.


yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di camping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dan pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dan apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan raja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. "bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust." Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav Jung," melainkan faust yang menciptakan Goethe."
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenamya ilmu itu hams dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan

pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan¬pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. "segalanya punya moral," kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, "asalkan kau mampu menemukannya." (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional ?

Logika
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Secara bagahasa logika berati ilmu berkata atau ilmu berfikir benar. Kebenaran adalah sayarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi laku perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam praktek berfikir menuju kebenaran dan menghindarkan budi menempuh jalan yang salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu pengungkapan kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai bentuk argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik tentang keteraturan penalaran. Logika berurusan dengan pengetahuan yang bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi. Dalam logika sangat terkait dengan matematika.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada hubungan logis antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain, kesimpulannya kurang lebih berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama, kita dapat meyatakan yang kedua berdasarkan yang pertama. Sebagai contoh tuan x seorang lelaki yang memiliki reputasi tinggi dan kedudukan sosial terhormat, telah dimintai untuk mengetuai acara sosial terbesar. Dia datang terlambat, sehingga seorang pendeta dimintai pidato sambil menunggu kedatangan tuan x. Pendeta tersebut menceritakan sebuah anekdot tentang malunya pertama kali menjadi pastur yang menjadi penerima pengakuan dosa. la berhadapan dengan pengakuan dosa yang telah melakukan pembunuhan. Tak lama kemudian tuan x datang, dan dalam pidatonya berkata saya melihat romo ini. Saat ini, mungkin tidak dapat mengenali saya, beliau adalah teman lama saya dan saya malahan termasuk pengakuan dosa yang pertama baginya. Jelas dalam kesimpulan bahwa tuan x melakukan pembunuhan tanpa harus menyaksikan sendiri kejahatan tersebut.
Dalam pengambilan kesimpulan hanya mungkin dilakukan karena termasuk hubungan¬hubungan khusus antara proposi-proposi yang terlibat seperti suatu proposisi mengikuti proposisi yang lainnya.ilmu logika untuk mempelajari hubungan-hubungan ini dan hubungan tersebut ditunjukan oleh silogisme. Suatu silogisme tersiri dari tiga proposisi dua proposisi merupakan premis dan proposisi terakhir merupakan kesimpulan. Semua manusia akan mati, Socrates adalah manusia, maka Socrates akan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar